Senin

Junior Monsta Klan

“Ngebom” Demi Kepuasan

Grafiti dan mural, sebuah seni visual jalanan yang jadikan tembok-tembok pinggir jalan sebagai ruang ekspresi dan pameran bagi para seniman jalanan. Lalu jadikan masyarakat yang melihat graffiti dan mural tersebut sebagai responden bagi karya-karya mereka.

Setiap hari, tiap kali menempuh ruas jalan di Jakarta, sekali waktu mata Anda mungkin pernah tergoda memerhatikan warna-warni coretan cat semprot yang menempel di dinding kosong, halte, tiang listrik, dinding seng, hingga badan bus metro mini.
Bunyinya bisa macam-macam, mulai dari sekadar nama sebuah sekolah penguasa jalur sepanjang rute bus, tuntutan kepada pemerintah, hingga tulisan-dilengkapi gambar-dengan desain dan komposisi warna yang rumit.

Goresan itu terbagi dua yaitu grafiti (coretan) dan mural (lukisan). Kehadirannya pun punya dua makna, memperindah atau malah dianggap mengotori pemandangan. Sementara itu, selama AdInfo menyusuri ruas jalan di Komunitas, mencatat setidaknya ada beberapa seniman grafiti yang rajin ngebom atau membuat karya mereka di seantero tembok kusam Ibu Kota.

Sebut saja JMK alias Jakarta Mosta Klan, adalah sekumpulan remaja kreatif usia belasan tahun yang kerap ngebom tembok jalan-jalan di Jakarta, terutama wilayah Pondok Indah, PIK dan Kebon Jeruk.

“Motivasi kami JMK karena punya kesamaan hobi grafiti dan mural. Mendapat kepuasan batin saat berhasil menyelesesaikan grafiti dan mural. JMK sendiri terbentuk secara tidak sengaja saat ngebom di Menteng setahun lalu, tepatnya 18 Oktober 2009. Kami percaya bahwa grafiti dan mural bukanlah perusakan dan jalanan adalah sebuah galeri yang besar dan bebas.,” ungkap Ketua JMK, Rizkita (15).

Lanjutnya, bagi kami, “street art” adalah cara untuk mengungkapkan apa yang ingin kami ungkapkan. Tidak ada pesan dari setiap grafiti dan mural kami, karena berdasarkan apa yang terlintas dibenak kami saja. Walaupun ada pesan hanya mengandung pesan kepada publik bahwa grafiti bukan kejahatan atau perusakan. Jumlah total karya JMK sampai saat ini berkisar 50 buah, tersebar di tembok jalan-jalan Jakarta.

Tembok yang tadinya kumuh, berisi coretan pilox yang tidak jelas, lewat tangan-tangan kreatif mereka tembok menjadi sebuah galeri lukisan yang bisa dinikmati semua orang. Grafiti dan mural mereka seperti “street art” yang sedap dipandang mata.

“Inilah ruang dimana seni pun dapat dikonsumsi oleh semua kalangan, dari masyarakat atas hingga masyarakat bawah. Memang itulah hakikat seni, seni adalah universal, dan mestinya bisa dikonsumsi dengan ruang lingkup universal,” tambah siswa SMA 30 Jakarta ini.

Sebelum ngebom kami hunting spot terlebih dahulu. Merasa cocok dengan spot pilihan kami, lalu tinggal menjadwal waktu kapan akan melangsungkan aksi. Lucunya, saat sedang berlangsung aksi corat coret kami pernah diomelin pemilik tembok rumah dikejar-kejar satpam bahkan pernah di kejar polisi di jalan Pramuka Jakarta Pusat.

Bicara peralatan, kata Hugo (19), paling cat, pilox dan kuas. Mengenai ritual sebelum grafiti dan mural dikerjakan, tembok kami beri cat dasar putih lalu buat sketsa (melihat dari sketsa di kertas) lalu proses pengerjaan. Pengerjaan 1 graffiti dan mural memakan waktu 3 jam, tergantung tingkat kesulitan. “Mengenai pengeluaran biaya untuk ini semua, kami coba patungan dan sifatnya sukarela dan sekali aksi ngebom biasanya menghabiskan dana berkisar Rp 200 ribu-500 ribu.

Butuh Keberanian
Sebagai aktivitas yang rentan disebut pengganggu ketertiban mereka harus punya nyali lebih kalau sewaktu-waktu digertak petugas. Lebih sial lagi kalau kemudian mereka kemudian sampai harus masuk bui gara-gara terkena pasal-pasal vandalisme akibat aktivitas coreng-moreng di dinding Ibu Kota itu.

"Tapi akhir-akhir ini kami sudah jarang ngejar-ngejar mereka (pembuat grafiti) seperti dulu. Soalnya karya mereka sekarang bagus-bagus. Justru yang mengotori pemandangan itu iklan," ujar Udin, petugas Tramtib yang ditemui AdInfo di Kantor Walikota Jakarta Barat.

Toh meski mulai 'aman', para pembuat grafiti di Jakarta tetap saja punya keinginan untuk membuat grafiti di posisi yang menantang. Misalnya tempat yang susah di jangkau di tiang jalan layang yang tinggi. Selain menaikkan pamor, juga untuk memperoleh hasil yang terbaik.

"Tapi pernah juga sih kita dilaporin Tramtib ke polisi waktu ngebom (bikin grafiti) di Pondok Indah. Tapi nggak sampai harus masuk penjara. Cuma disuruh ngecat dan bikin surat perjanjian nggak akan ngebom lagi," kenang personel JMK Naufal (14).
Iapun menambahkan, dalam sebulan bisa dua atau tiga kali ngebom dengan sedikitnya enam kaleng cat semprot di tempat-tempat yang menantang dan tidak dipikirkan orang lain.

Selain bermodalkan senjata tradisional cat kaleng semprot atau stensil di tempel, ada pula yang fanatik menggunakan teknik wheat pasting atau paste–up. "Caranya gambar, terus di fotokopi perbesar sebesar-besarnya, gunting lantas ditempel di mana saja menggunakan lem fox campur air. Budgetnya sih tergantung mau nempel berapa banyak, tapi modalnya kira-kira Rp 200.000-an," tuturnya.

Ia mengaku menggunakan teknik itu karena kurang percaya diri dengan penggunaan cat semprot. Hanya saja, lanjut dia, teknik ini punya kekurangan tak tahan lama dan sangat mudah rusak jika tersiram air hujan atau lapuk oleh kelembaban.

Dengan kondisi ini, tak heran setiap hari akan makin mudah saja kita temui grafiti baru di sudut kota Jakarta dan warna-warni indah itu serasa makin mengepung kita.