Jumat

Geliat Bisnis di Pintu masuk PIK

Berangkat dari rasa percaya diri untuk berusaha dan berinvestasi, masyarakat komunitas PIK mulai berani membangun usaha guna memenuhi kebutuhan hidup.

Selain menyambung kebutuhan hidup, banyak dari mereka mengakui alasan membuka usaha karena tersedianya lahan berjualan strategis dan pangsa pasar yang jelas. Jika sudah begitu, modal usaha pun seakan tak jadi masalah.

Dengan niat yang pasti ditambah “jurus dagang ampuh”, usaha dengan modal kecil pun dapat mendatangkan keuntungan besar jika dikelola dengan pikiran bijak dan manajemen yang baik.

“Yang kuat yang bertahan” agaknya menjadi kalimat yang memiliki arti betapa ketatnya persaingan dagang. Bahkan tak sedikit pula pedagang yang survive dan telah merasakan pahitnya persaingan bisnis di wilayah tersebut.

Seperti terlihat di pintu masuk menuju arah Perumahan PIK. Di situ, terdapat sejumlah penjual alat pancing, pedagang otak-otak ikan, dan es kelapa muda. Mayoritas adalah penjual otak-otak ikan dan es kelapa. Sedang penjualan alat pancing, ramai penjual tergantung ramai pembelinya (pemancing), biasanya hari Sabtu dan Minggu.

Ramainya bisnis pinggir jalan ini sudah berlangsung kurang lebih 10 tahun lalu atau dari tahun 1998-an. “Orang yang pertama kali merintis jual otak-otak ikan dan kelapa adalah Ibu Titin, lambat-laun banyak yang mengikuti jejaknya dan sekarang ada 10 pedagang,” tutur salah satu penjual otak-otak ikan, Hartono.

Modal yang dibutuhkan untuk membuka usaha otak-otak ikan dengan tambahan jual kelapa berkisar Rp 3-5 juta. Biasanya, biaya yang paling banyak dikeluarkan berasal dari bahan baku otak-otak berupa ikan ekor kuning/mata belo dan tepung kanji untuk adonan. Dalam 1 kali adonan rata-rata akan menghabiskan kurang lebih 5 kg ikan dengan asumsi campuran ½ kg tepung kanji dan sedikit tepung terigu.

Selain ikan dan tepung kanji, bahan dasar yang dibutuhkan untuk membuat penganan otak-otak ini antara lain; santan, telur, daun bawang/seledri, bawang putih, dan merica. Jika sudah beda tempat, maka beda pula racikan bumbu dan rasa otak-otak yang dihasilkan dari warung-warung tersebut.

Rata-rata tampilan warung penjual otak-otak ikan di sepanjang jalan pintu masuk PIK hampir sama. Terlihat dari bahan dasar untuk mendirikannya, seperti menggunakan material bambu, material seng/terpal untuk atap, kayu triplek, dan lainnya.

Sabtu malam atau Minggu biasanya selalu ramai pembeli, rata-rata pedagang otak-otak ikan di sepanjang jalan ini dapat meraup untung hingga Rp 150 ribu. Dengan kisaran 500 bungkus otak-otak ikan ludes terjual. Angka tersebut belum termasuk penjualan kelapa muda. “Jika dihitung dengan penjualan kelapa muda, keuntungan yang didapat bisa di atas Rp 200 ribu,” imbuh Hartono.

Sama halnya dengan pedagang alat pancing yang tersebar di beberapa titik. Mereka juga mengalami peningkatan penjualan pada hari Sabtu atau Minggu. “Sabtu dan Minggu biasanya ada sekitar 10 - 15 tempat yang berjualan peralatan memancing. Di luar hari itu, hanya sekitar 5 tempat saja,” ujar pemilik Yeni Pancing, Yeni.

Sedangkan omzet yang dihasilkan untuk penjualan alat-alat pancing kurang lebih antara Rp 200 - 500 ribu/hari, tergantung dari musim memancing. Modalnya pun hampir sama dengan penjualan otak-otak ikan, berkisar antara Rp 3 - 4 juta.

Yeni Pancing menawarkan alat-alat pancing beragam. Harga yang ditawarkan paling murah dari Rp 200,- untuk timah hingga Rp 200 ribu untuk reel dan ajoran.

Kendala yang dihadapi banyak penjual alat pancing ini adalah pada saat musim panas yang berpengaruh langsung dengan berkurangnya pendapatan mereka.
Omzet yang dihasilkan dari kedua bisnis tersebut dapat dikatakan cukup lumayan. Mereka (pedagang) mampu menangkap kebutuhan masyarakat sekitar yang menjadi target pasar potensial. Kondisi daerah yang cukup panas dan banyaknya kolam-kolam pemancingan, menjadi semacam pemicu lancarnya bisnis mereka.