Selasa

Gang Burung

Gang Sempit Penjual Keberuntungan

Dulunya tempat ini disebut sebagai tempat pelarian pencuri, pencopet, dan maling. Tapi sekarang, daerah yang disebut Gang Burung ini menjadi lokalisasi penjualan burung.

Nama Gang Burung sendiri diambil karena masyarakat yang tinggal di daerah tersebut banyak yang berprofesi sebagai penjual burung, khususnya jenis burung pipit. Nama gang tersebut mulai dikenal komunitas Kapuk dan sekitarnya sejak tahun 1970-an.

Sepintas gang ini mirip “gang senggol atau gang buntu” alias agak menyempit dan hanya dapat dilalui satu motor dan berliku-liku. Gang ini berada di tengah-tengah, sebelah kirinya terdapat tempat latihan billiard dan di samping kanannya ada bengkel sepeda motor.

Aktifitas menjual burung pipit ini sebenarnya sudah dilakukan masyarakat sekitar dari tahun 1958. Tapi waktu itu, nama tempat ini bukan Gang Burung. Pelakunya juga tidak seperti sekarang karena warga di sini masih banyak yang menjadi petani. “Kondisi daerah sini pun masih sawah, belum banyak rumah,” kata Ketua RT 001/RW 10 Gang Burung, Muasim.

Awalnya, orang-orang yang bisa disebut sebagai perintis usaha penjualan burung di sini hanya iseng menangkap burung pipit di sawah. Karena hasil tangkapannya lumayan banyak, mereka pun langsung menjualnya di pinggir jalan menggunakan sepeda dan kandang burung seadanya.

Lama kelamaan, kegiatan tersebut menjadi perhatian dan diikuti warga lain. Akhirnya, jumlah penjual burung di Gang Burung bertambah banyak.

Muasim sendiri juga pernah menjual burung keliling menggunakan sepeda pada tahun 1960-an. Namun tak berapa lama, sekitar tahun 1971, ia ikut bekerja di proyek bangunan dan berpindah pekerjaan di bidang sumur bor hingga sekarang.

Salah satu perintis usaha penjualan burung pipit ini adalah (alm) Micang. Banyak warga sekitar yang mengatakan kalau keluarga beliau sudah turun temurun menggeluti usaha ini. Bahkan menurunkan usaha jual burung pipit pada anak cucunya.

Ada juga Kinan, seorang tengkulak besar yang merintis usaha dagang burung sampai sekarang. Dia dulu juga pernah berjualan burung bersama Muasim.

Wilayah Gang Burung mencakup RT 001 dan Rt 002, Kapuk, Cengkareng. Tapi, sebagian besar berada di wilayah RT 001. Meski begitu, penjualnya lebih banyak berasal dari RT 002. Sedangkan warga RT 001 sudah jarang yang menjual burung. “Mungkin hanya satu sampai dua orang saja,” jelas Muasim.

Ritual Lepas Burung
Karena kondisi lingkungan yang tidak memungkinkan, sekarang hanya sedikit pedagang yang berburu burung di daerah tersebut. Kebanyakan malah pergi mencari burung di daerah Tangerang atau mendatangkan langsung dari Wonogiri dan sekitarnya.

Para tengkulak biasa mengumpulkan burung sebanyak-banyaknya untuk dijual kembali pada waktu-waktu tertentu. Terutama menjelang perayaan Cap Gomeh ketika warga Tionghoa melakukan ritual sembahyang.

Hari yang paling ramai pembeli biasanya dilihat menurut tanggalan China. Seperti tiap tanggal 1 dan 15 (Cap GoMeh) ketika ada ritual sembahyang dan lepas burung. “Warga keturunan Tionghoa biasanya melepas burung untuk mendatangkan keberuntungan,” tegas Muasim.

Harga satu ekor burung dijual Rp 900 - 1500, semakin banyak burung yang dibeli, semakin murah harganya. Biasanya orang-orang Tionghoa membeli antara 100 - 500 burung dan dilepas langsung dari kandang tanpa dibawa pulang.

Bila dilihat dari segi ekonomi, bisnis penjualan burung pipit ini memang cukup menguntungkan. Bayangkan, isi satu kandang yang dibawa di atas sepeda bisa sekitar 150 ekor burung dan hanya butuh 1 liter beras untuk makanannya. Rata-rata, pendapatan yang mereka raih dalam sehari, antara Rp 50 - 100 ribu, tergantung sepi atau ramainya pembeli.

Dengan omzet tersebut, cukuplah buat mereka menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, ada baiknya bila para pedagang burung tersebut turut menjaga kesehatan masyarakat sekitar dan lingkungannya. Apalagi di daerah tersebut sering timbul aroma tak sedap karena kotoran burung.

Belum lagi masalah kapasitas kandang yang tidak sesuai dengan jumlah burung di dalamnya. Sering kali banyak burung yang mati karena hal tersebut. Bila mati, banyak burung yang dibuang di saluran-saluran air atau bak sampah.

Tapi untungnya, hingga saat ini belum ada keluhan warga yang menyebutkan daerah ini rawan flu burung.