Senin

Ketika Muncul Minyak Murah

Jika para elit politik berburu kekuasaan, tidak begitu dengan warga Kapuk Kebun Jahe. Sejak konversi minyak tanah ke elpiji, aktivitas mereka tak jauh dari berburu minyak ke toko dan agen.
Maklum, selain sulit, harga minyak di tempat ini cukup tinggi. Karena itulah ketika minyak murah muncul ke permukaan, mereka rela antri hingga berjam-jam.

Konversi minyak tanah ke elpiji yang diupayakan pemerintah sejak September 2007 lalu, masih dirasa membebankan oleh sebagian masyarakat Kapuk Cengkareng. Karena sampai saat ini mereka belum memperoleh gas elpiji di tengah harga minyak yang kian tinggi dengan kisaran harga mulai dari Rp4000-5000/liter.

Harga ini rupanya tidak diimbangi dengan volume minyak yang besar, buktinya warga masih saja sulit mendapatkan minyak di warung dan agen. Alhasil, pekerjaan memburu minyak dari kampung ke kampung menjadi rutinas sebagian warga Kapuk Kebun Jahe.

Melihat penderitaan warga yang kian terpuruk karena kenaikan harga minyak dan bahan pokok lainnya, maka sebuah agen minyak tanah yang tak ingin disebutkan namanya ini membuat terobosan baru dengan menjual minyak tanah murah kepada seluruh warga RT 011.

Setiap kepala keluarga akan mendapat satu kupon yang digunakan untuk membeli minyak tanah sebanyak 4 liter dengan harga Rp10.000. kesempatan ini tentu menjadi sebuah berkah dan banyak ditunggu warga. Tak ayal meski tak termasuk ke dalam 500 warga yang mendapatkan kupon, toh warga dari RT tetangga juga turut datang ke tempat ini.

Rela Antri
Jam 12 siang merupakan waktu yang ditentukan panitia untuk melakukan penjualan minyak murah. Tapi 2 jam sebelumnya, puluhan warga sudah ramai mengantri dengan derigen berwarna-warni.

Alhasil, tempat yang biasa sepi ini berubah menjadi ramai bak pasar tradisional yang menjual berbagai kebutuhan pokok. Terhitung sekitar 500 warga yang ada di Jalan Kapuk Kebun Jahe datang ke sini. Tapi, banyak juga yang datang tanpa undangan kupon berwarna putih itu.

Warga yang memiliki kupon terlihat sangat senang meski harus berdesak-desakan. Berbeda dengan mereka yang tidak mendapatkan kupon, wajah mereka benar-benar memelas, tak jarang mereka merayu panitia agar bisa mendapatkan satu liter minyak tanah.

Ironis sekali, tapi itulah kenyataan yang tak bisa dirubah dengan tangan sekelas mereka. Jika masih boleh berharap, harusnya pemerintah bisa melihat lebih realistis kebijakan konversi minyak tanah di tingkat bawah. Apakah sudah sesuai dan pantas untuk diterapkan pada masyarakat Indonesia yang kian terpuruk perekonominya ini?