Sabtu

Festival Kampoeng Silat Jampang

Dibalik Keterpurukan Silat

“Ciat, jeduk.. jeder..plak…”. Pesilat-pesilat Betawi saling tukar pukulan, tendangan, dan sabetan. Acara ini bertajuk “Festival Kampoeng Silat Jampang” digagas oleh Dompet Dhuafa dengan maksud melestarikan Silat yang merupakan bagian dari budaya masyarakat Betawi.

Dalam rangka menyambut Tahun Baru Islam 1 Muharram 1432 H, Dompet Dhuafa mengadakan acara “Festival Kampoeng Silat Jampang”, Selasa (7/12) siang di panggung lobi Pejaten Village, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Festival ini menghadirkan parade silat Betawi dari berbagai perguruan Silat, Marawis, peluncuran “Kampoeng Silat Jampang”, santunan untuk kaum Dhuafa dan anak yatim.

Adapun rangkaian kegiatan yang terselenggara adalah panggung seni dan atraksi silat Betawi, serta Marawis. Parade silat Betawi menampilkan berbagai perguruan silat Betawi dengan latar belakang musik silat Betawi dengan selingan Marawis.

Menurut Direktur Program Dompet Dhuafa, Arifin Purwakananta, festival ini ditujukan untuk meningkatkan budaya silat sebagai bagian dari upaya character building,”. Selain itu, lanjutnya, untuk mendorong pemberdayaan melalui seni dan budaya silat di masyarakat.

“Jadi, kita mulai keterpurukan Silat sebagai budaya yang luhur, tetapi tidak dimanfaatkan sebagai pembangunan karakter bangsa. Silat lebih dari beladiri, yaitu budi pekerti luhur bangsa kita, ada karakter ksatria, tegas, cekat, tangkas, dan berani,” tutur Arifin yang ditemui wartawan dilokasi terselenggaranya acara.

Di samping itu, acara ini digagas untuk membantu para guru-guru silat menafkahi diri mereka dan mengembangkan perguruan mereka. “Oleh karena itu wajib pemberdayaan kelompok marjinal, caranya kita pertumbuhkan perguruan-perguruan silat,” ujarnya.

Kampoeng Silat Jampang, terangnya, akan dibuka di Parung, di mana saat ini sudah ada lima perguruan silat tradisional, dan dalam jangka pajang akan diisi oleh 10 perguruan silat. “Kita juga akan menularkanya ke daerah lain,” tandasnya.

Aksi Para Jawara
Arifin menambahkan, dipilihnya pencak silat sebagai pengembangan kebudayaan lantaran olahraga beladiri yang merupakan warisan budaya luhur bangsa mulai tergerus dengan perkembangan zaman. “Silat saat ini terpinggirkan, dan hanya diajarkan di tempat-tempat tertentu saja. Kami wajib mengembangkan seni silat untuk layak tampil sebagai warisan budaya luhur bangsa,” terangnya.

Selain itu, festival ini juga bertujuan untuk membangun dan menyebarkan bahwa olahraga beladiri pencak silat sebagai sesuatu yang penting. “Kami mengajarkan kepada para pesilat untuk mendapatkan “kependekaran” atau sari pati dari gelar pendekar, yakni sifat cepat, kuat, tegas, aktif, dan ksatria. Dimana hal ini harusnya diperlukan untuk menyelesaikan masalah bangsa,” papar Arifin.

Festival Kampoeng Silat Jampang dihadiri oleh 10 perguruan asli Betawi, yang merupakan bagian kecil khasanah silat Betawi. “Perguruan silat yang hadir adalah PS Si Bunder, PS Cingkrik Rawa Belong, PS Cingkring Goning, PS Golokseliwa, PS Beksu H Hasbulloh, PS Macan Belang Jitu, PS Putra Jakarta, PS Gerak Saka, PS Gerak Cipta, dan PS Zona Madina.

Pada kesempatan ini para jawara Betawi berkumpul dan mempertontonkan kebolehan aksi bela diri Pencak Silat dalam Festival Kampoeng Silat Jampang ini. “Silat saat ini terpinggirkan, dan hanya diajarkan di tempat-tempat tertentu saja dan kegiatan ini merupakan kerja sama Forum Diskusi Sahabat Silat, Kampoeng Silat.

Jawara-jawara perguruan Kampung Silat Jampang saling pamer jurus andalan di perguruan mereka masing-masing. Dengan karakter gerak yang berbeda-beda, masing-masing perguruan menunjukan kekhasan.

Ada para jawara yang mengandalkan kecepatan dan tenaga, dalam rangkaian pukulan dan tendangan mereka, ada yang melenggak-lenggok seperti menari jaipong, namun dengan kekuatan pukulan, tendangan, bantingan yang mematikan.

Ada para jawara yang mengandalkan kecepatan dan tenaga, dalam rangkaian pukulan dan tendangan mereka, ada yang melenggak-lenggok seperti menari jaipong, namun dengan kekuatan pukulan, tendangan, bantingan yang mematikan.

Menurut Arifin, pemilihan tempat festival di mal merupakan terobosan baru. “Kami memilih kegiatan ini di mal agar bisa diserap publik lebih cepat. Kami jemput bola,” paparnya.

Sementara, menurut peserta festival dari perguruan silat Macan Belang Jitu, Aay (17), acara ini bisa membuat budaya Betawi lebih terangkat derajatnya. “Ya bagus acaranya, dengan ada di mal seperti ini jadi tertantang untuk menunjukkan kebolehan silat saya,” ujarnya.

Senada dengan Aay, Ica (14), salah satu peserta festival dari perguruan yang sama berharap, ke depan acara seperti ini bisa diadakan kembali.